Ciri-ciri Fi’il

Rabu, 10 April 2013 | komentar

Ciri-ciri Fi’il:
عَلاَمَاتُ الْفِعْلِ
قَدْ

مِثْلُ :{ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ} البقرة



(اَلسِِّيْنُ

مِثْلُ : { سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا} الطلاق


سَوْفَ

مِثْلُ : {كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ} التكاثر


تَاءُ التَأْنِيْث ِالسَاكِنَةُ

مِثْلُ : {قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَـنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيًّا} مريم

PENDAHULUAN

| komentar (1)

PENDAHULUAN
SEJARAH PEMBINAAN ILMU USHUL FIQIH.

Syari'at Islam yang datang pada kita dasarnya ialah Qur'an kemudian Qur'an itu dijelaskan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatannya. Kata-kata dan perbuatan inilah yang di katakan sunah.

Sahabat-sahabat Nabi dan para Tabi'in sempurna pengetahuanya tentang bahasa Qur'an, Bahasa Arab, dan mengetaui pula sebab-sebab turunya, rahasia-rahasia syari'at dan tujuannya. pengetahuan ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi s.a.w., disamping kecerdasan mereka sendiri. karena itu, mereka itu tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu Hukum (Istinbat), sebagaimana mereka tidak membutuhkan qaidah-qaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri (Bahasa Arab).
Sesudah Islam meluas dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan-peraturan bahasa Arab. Selain untuk menjaga Bahasa Arab sendiri,sebagai bahasa Qur'an, dari pengaruh-pengaruh bahasa lain, juga agar bahasa itu mudah dipelajari bangsa lain. Di samping itu, banyak peristiwa-peristiwa baru yang timbul dalam segala lapangan hidup. keadaan mencari dan menentukan hukum peristiwa-peristiwa tersebu.

Paea Ulama tersebut telah tersebar di negri-negri yang baru dan telah terpengaruh pula oleh lingkungan dan cara berfikir negri itu yang berbeda satu sama lain. Karena itu, masing-masing Ulama dalam melakukan Ijtihad dan mencari hukum menempuh jalanya sendiri-sendiri yang dipandangnya benar atau yang sesuai dengan jalan fikirannya. Keadaan ini sudah barang tentu menimbulkan perbedaan pendapat, baik sebagai keputusan hakim maupun sebagai fatwa, bukan saja antara satu negri dengan yang lain, bahkan antara satu daerah dengan daerah lain dari sesuatu negri.

Timbulah fikiran. untuk membuat peraturan-peraturan dalam Ijtihad dan pengambilan hukum, agar dengan peraturan-peraturan ini dapat diperoleh pendapat yang benar dan agar dapat diperdekatkan jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut.
Yang pertama-tama mengusahakan peraturan-peraturan tersebut adalah Imam Syafi'i (wafat 204 H ) yang ditulisnya dalam kitab " Arrisalah" .Dalam kitab ini , ia membicarakan tentangQur'an kedudukan Hadits dan macam-macamnya, Ijma', Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum.

Ulama Imam Syafi'i merupakan batu pertama dari Ilmu Ushul Fiqih yang kemudian dilanjutkan pembahasannya oleh para ahli Ushul sesudahnya, sehingga menjadi banyak pembicaranya.

Para Ulama Ushul dalam membicarakan persoalan Ushul-Fiqih tidak selalu sama; baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. karena itu maka terdapat dua Golongan yaitu:
1. Golongan ahli Ilmu Kalam atau aliran Syafi'iyyah.
2. Golongan Hanafiyyah.


Golongan pertama dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang lazim digunakan dalam Ilmu Kalam, ialah dengan memakai akal fikiran dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok, tanpa memperhatikan apakah peraturan-peraturan tadi sesuai dengan soal furu' atau tidak. Yang termasuk golongan ini, ialah golongan Mu'tazilah, Syafi'iyyah dan Malikiyyah.

Diantara Kitab-kitab yang ditulis oleh golongan tersebut ialah:

1. Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali (wafat 463 H).
2. Al-Burhan oleh Al-Juawaini (wafat 478 H).
3. Al-Mustafshfa oleh Al-Ghazali (wafat 505 H).
4. Al-Mashul oleh Ar-Razy (wafat 606 H ) Yang meringkaskan ketiga Kitab diatas tersebut.

Adapu Golongan kedua, yaitu Golongan Hanafiyyah, dalam pembicaraaannya selalu memperhtikan dan menyesuaikan peraturan-peraturan pokok dengan soal-soal Furu; sehingga mereka sebenarnya menetapkan peraturan-peraturan pokok tersebut berdasarkan soal-soal Furu' maka peraturan Poko tadi diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan soal furu'.

Di antara Ulama Golongan Hanafiyyah, ialah:

1. Al-Jasshas (wafat 370 H).
2. Al-Bazdawi (wafat 483 H).
3. Annasafi (wafat 790 H)

Sesudah mereka semua, datanglah angkatan baru yang mempersatukan kedua aliran, aliran Mutakallimin dan Hanafiyyah. Di antara mereka ialah:

1. Sadrus Syari'ah dengan kitabnya Tanqihul-usul, (wafat 747 H).
2. As-Sa'ati dengan kitabnya Badi'unnidzam, (wafat 694 H ).
3. Kamal bin Hammam dengan kitabnya Attahrir (wafat 861 H )

Kemudian datang As Syatibi (wafat 780 H ), yang menulis kitab Al-Muwafaqat dengan cara yang baru. Dalam kitab ini selain diterangkan kaidah-kaidah usul, juga diterangkan tujuan syari'at dan hikmahnya mentasryi'kan sesuatu hukum.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, banyak pula kitab-kitab usul, seperti " Irsyadulfuhul"  oleh Assyaukani (wafat 1255 H ). Usul-fiqih oleh Al-Cudari (wafat 1245 H ).

Ada pula kitab Usul-fiqih dalam bahasa Indonesia dengan nama " Kelengkapat dasar-dasar fiqih" oleh Prof. T.M Hasbi As-Shiddiqi.

Syukra Katsir ,,,,,,

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Wassalam~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

SEJARAH ILMU NAHWU DAN SHOROF

| komentar (2)

Kitab Ilmu Tashrif
Kitab Ilmu Sharaf untuk mempelajari perubahan2 bentuk kalimat sehingga berubah arti, akibat pengaruh perubahan waktu ; akan/sedang atau telah, pelaku, objek penderita, tempat/alat atau zaman.
Asal 3 huruf, 4, 5 atau 6. Ada penambah atau tidak. Beraturan atau tidak beraturan.
Ilmu Sharaf, dikenal pula sebagai Ibunya Ilmu, sebagaimana dawuhan sebagian ulama ; “Ash-shorfu ummul ‘uluum, wan nahwu abuuha” (Imu sharaf adalah ibu berbagai ilmu, adapun Nahwu adalah bapaknya).
Semua ilmu yang lahir akan diatur berdasarkan kaidah ilmu sharaf. Saking pentingnya memahami ilmu ini, sehingga boleh dikatakan tidak wajib diturut pendapat agama dari orang yang tidak mengerti ilmu ini.
Filsafat Ilmu Nahwu
Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”.
Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat.
Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra.
Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:

سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب

Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
 
فاذا فر غت فا نصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).

Sejarah Ilmu Nahwu

Selasa, 09 April 2013 | komentar

Seperti halnya bahasa2 lain-nya Bahasa Arab juga memiliki kaidah2 khusus dalam hal komunikasi dan dalam segi tulis menulis.

Lalu, bagaimana sejarah awal mulanya terbentuk kaidah2 ini, dan kenapa dinamai dengan nahwu ?Pangen tau kelanjutan-nya ya baca terus dung…
Ketika zaman Jahiliyyah orang2 Arab berkomunikasi dengan sesamanya sesuai dengan tabiat atau kebiasaan masing2 dan lafazh2 yang diucapkan terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka di mana para junior belajar kepada senior. Anak2 belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi dan juga pernikahan orang Arab dengan non Arab, serta terjadinya perdagangan dan pendidikan menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Yang dulunya fasih berbahasa kini merosot menjadi tak terkendali dan juga banyak terjadi salah ucap sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah pakar2 nahwu terdorong untuk membuat kaidah2 yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih dan bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib r.a…Ketika Abul Aswad Ad-Duali sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak menengadahkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang2 lalu ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrohkan hamzah, yaitu menunjukkan kalimat tanya.Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّة . “Bintang2nya ya anakku,  ?”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”.Bukan, 
مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan menfathahkan hamzah…

Abul Aswad Ad-Duali ketika melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan tata Bahasa Arab ini menghilang, padahal peristiwa tersebut terjadi pada zaman Sahabat Nabi s.a.w.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka memperbaharui pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah singkat awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Sumber : Kitab Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah dan beberapa situs lainnya.

Cabang-cabang Ilmu Bahasa Arab

| komentar (5)

Bahasa ‘arab adalah bahasa termudah sepanjang masa (sekilas tentang ilmu-ilmu dalam bahasa ‘arab)

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa ‘arab supaya kamu memahaminya”
QS : Az Zukhruf ayat 3
Ketika belajar bahasa ‘arab kadang terbesit sangat susah dan beribet.  susah karena ilmu bahasa ‘arab banyak cabangnya (ada sekitar 13 cabang), beribet karena pas mempelajari  tashrif membicarakan bagaimana perubahan bentuk suatu kata kerja dari bentuk past, present, dan perintah, dan perubahan bentuk kata kerja ke kata benda turunan, dan juga perubahan bentuk kata kerja sesuai pelaku dari perbuatan tsb. Tapi kalau diresapi lebih dalam nash qur’an diatas jadi penyemangat tersendiri ketika belajar bahasa ‘arab yang mudah dan luas ini. Allah ‘azza wa jalla tidak akan membenani diluar kemampuan kita, artinya kita semua bisa menguasai bahasa ‘arab.

Bahasa ‘arab pertama kali dikenal sebagai bahasa-bahasa dizajirah semenanjung arabia, kemudian setelah datangnya dien islam dikenal pula sebagai bahasa Al Qur’an.  Bahasa ‘arab dikenal juga sebagai salah satu tsaqafah islam yang sangat penting untuk dipelajari karena kedudukannya sangat penting dalam islam ibaratkan dia sebagai permata islam dan menjadi syarat dari salah satu syarat-syarat ijtihad.

Umat islam generasi awal (khilafah rasyidin) sampai sebelum abad ke 6 H sangat ketat dalam menjada kemurnian bahasa ‘arab. Seperti imam syafi’I rah tidak membolehkan penerjemahan al Qur’an, bahkan di salah kitab beliau menuliskan “akad nikah tidak sah jika tidak menggunakan bahasa ‘arab” artinya jika yang akad nikah mampu menggunakan bahasa ‘arab maka tidak sah menggunakan bahasa selain bahasa ‘arab dalam akad nikah tersebut. Menurut beliau, inilah batas minimal kewajiban seorang muslim mempelajari bahasa ‘arab.

Dilihat dari segi penggunaannya maka bahasa ‘arab ini terbagi menjadi dua yaitu : bahasa ‘ammiyah (bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi), berasal dari bahasa daerah di jazirah arabiya dan tidak terikat pada tata bahasa.  Kedua bahasa fushah yakni bahasa resmi, contohnya bahasa al Qur’an dan hadist, kitab-kitab ‘arab gundul  mutabanat hizbut tahrir, surat-menyurat, karangan ilmiah kitab-kitab dst. Bahasa fushah ini mempunyai tingkat kesulitan tersendiri karena terikat erat dengan peraturan kebahahasaan diantaranya ilmu nahwu (I’rab), Sharaf (tashrif) dan ilmu balaghah semantic arab). ciri khas dari bahasa fushah ini adalah tatanan bahasanya yang sangat rapi, tertib, sistematis dan indah.Dari aspek sejarah kepentingan pada tata bahasa ‘arab berawal mula pada masa ke-khilafahan ‘ali bin abi thalib r.a. karena sangat khawatir bahasa tersebut akan terlepas dari struktur bahasa semula.
Sehingga sangat wajar selain merupakan kewajiban juga untuk mempelajari bahasa ‘arab, tidak ada alasan untuk tidak mempelajari bahasa ‘arab. Hanya dengan bahasa ‘arab kita dapat memahami islam (al Qur’an dan hadist). Adapun dari aspek cabang ilmu bahasa ‘arab dari berbagai referensi yang ada para sastrawan ‘arab menyimpulkan ada sekitar 13 cabang ‘ilmu bahasa ‘arab yang mereka sebut sebagai ‘ulumul ‘arabiayah :
1.‘ilmu lughah : ‘ilmu yang menguraikan kata-kata (lafadz) arab bersamaan dengan maknanya. Dengan pengetahuan ini, orang akan dapat mengetahui asal kata dan seluk beluk kata. Tujuan ilmu ini untuk memebrikan pondasi dalam percakapan, pidato, surat-menyurat, sehingga seseorang dapat berkata-kata dengan baik dan menulis dengan baik pula. Rata-rata Imam mazhab besar memang ahli membuat sya’ir, semisal Imam syafi’I rah dalam Diwan Asy-Syafi’i yang berjudul حب النساء : 

2.‘ilmu nahwu : membicarakan mengenai hukum-hukum huruf, kata, dan kalimat, dan bagaimana bunyi akhir dari sebuah kata. Inti dari  ‘ilmu nahwu adalah ‘irab.  Dengan kaidah-kaidah ini orang dapat mengatahui Arab baris akhir kata (kasus), kata-kata yang tetap barisnya (mabni), kata yang dapat berubah ( mu’rab). Tujuanya adalah untuk menjaga kesalahan-kesalahan dalam mempergunakan bahasa , untuk menghindarkan  kesalahan makna dalam rangka memahami AI-Quran dan Hadist, dan tulisan-tulisan ilmiah atau karangan.  Alam tata bahasa/ sintaksis Arab, dikenal istilah  Fi’iil dan Harf, jumlah Islamiyah dan Fi’liyah serta Syibhul  al jumlah.
I’rob إعرب berasal dari ‘arab عرب, sering disebut dengan “arabization” atau “peng-arab-an”. Mengapa disebut “peng-arab-an”? Karena bahasa arab sangat kaya dengan perubahan bunyi akhir dari sebuah kata.
contoh :  أذهب إلى المسجد – adzhabu ilal masjidi : saya sedang pergi ke masjid
Kata “masjid” disini dibaca “masjidi”. Kenapa bukan “masjidu”, atau “masjida”, atau “masjidun” atau bukan “masjidan”, ataupun “masjidin”? Karena begitulah aturan nahwu-nya.
Kalau kata masjid itu digunakan dalam kedudukan lain:
المسجد كبير – al-masjidu kabiirun
Disini “masjid” dibaca, “masjidu”. Tidak “masjidi”, atau yang lainnya. Kenapa bisa begitu? Ya karena begitulah peraturan nahwu arabic fusha (tata bahasa Al-Quran).
Terlihat bahwa, yang jadi fokus adalah cara membaca dari akhir kata, apakah berakhiran, “u” — seperti “masjidu”, atau “i” — seperti “masjidi”. Ini lah yang kita sebut dengan i’rab (arabization).

3.‘Ilmu Sharaf (morfologi Arab) : membicarakan asal bentuk kata (masdar) dari masdar kita akan mengetahui bagaimana perubahan bentuk suatu kata kerja dari bentuk past (lampau), present (sedang-akan), dan perintah, perubahan bentuk kata kerja ke kata benda turunan, dan juga perubahan bentuk kata kerja sesuai pelaku dari perbuatan dan ini tergantung dari wazan asal kata tsb. Inti dari sharaf adalah tashrif.
Seperti:
أذهب إلى المسجد – adzhabu ilal masjidi : saya sedang pergi ke masjid
Disini digunakan kata أذهب – adzhabu untuk menekankan bahwa pekerjaan “pergi” itu belum selesai.
Jika sudah selesai, maka kata kerja adzhabu berubah jadi dzahabtu.
ذهبت إلى المسجد – dzhabtu ilal masjidi : saya sudah pergi ke masjid
Ada lagi perubahan dari kata kerja ke kata benda. Contoh:
ذهب – dzahaba : pergi –> kata kerja
ذاهب – dzaahibun : orang yang pergi –> kata benda
Nah perubahan dari bentuk adzhabu ke dzahabtu inilah yang dibahas oleh Sharaf. Demikian juga perubahan dari kata kerja ke kata benda ini juga dibahas dalam Sharaf.
Dua hal ini (perubahan kata kerja past ke present, dan, perubahan kata kerja ke kata benda) disebut dengan Tashrif Ishtilahi.
Sharaf, juga membahas perubahan bentuk kata kerja jika pelakunya berubah. Seperti dalam contoh sebelumnya, untuk pelaku “kami”.
ذهبنا إلى المسجد – dzhabnaa ilal masjidi : Kami sudah pergi ke masjid
Perubahan yang seperti ini disebut Tashrif Lughowi (perubahan kata kerja karena berubahnya pelaku).

4.‘Ilmu Isytiqaq : Ilmu pengetahuan tentang asal kata dan pemecahannya, tentang imbuhan pada kata (hampir sama dengan ilmu Sharaf).

5.‘Ilmu ‘arudh : Yang membahas hal-hal yang bersangkutan dengan karya sastra syair dan puisi. llmu Arudh  memberitahukan tentang  wazan-wazan (timbangan) syair dan tujuanya adalah untuk membedakan proses dalam puisi membedakan syair dan bukan syair .Dengan ilmu arudh ini dikenal bahar syair seperti berikut ini : bahar thawi, bahar madid, bahar basith,  bahar wafir, bahar  kamil, bahar  hijaz, bahar rozaz, bahar sari’ bahar munsarih, bahar khafif, bahar mudhari, bahar muqradmib, bahar mujtas, bahar mutaqarib, bahar Romawi dan bahar mutadarik.

6.‘Ilmu Qawafi : yang membahas suku terakhir kata dari bait-bait syair sehingga diketahui keindahan  syair. Yang memprakarsai adanya Qawafi ialah Muhallil bin Rabi’ah paman Amruul Qaisy.

7.llmu Qardhus Syi’ri : sejenis ilmu pengetahuan  tentang karangan yang berirama (lirik), dengan tekanan suara yang tertentu. Gunanya untuk membantu menghafalkan syair dan mempertajam ingatan pembaca syair.

8.‘Ilmu hkat : pengetahuan tentang huruf dan cara merangkaikannya, termasuk bentuk halus kasarnya dan seni menulis dengan indah dapat dibedakan dalam beberapa bentuk mulai dari khat tsulus, Diwan, Parsi dan khat nasakh. Penemu pertama ilmu khat adalah nabi Idris karena beliaulah yang pertama kali menulis dengan kalam.
untuk ‘ilmu yang satu ini memang ada buku khusus bagi pemula yang mau belajar font ‘arab, nama bukunya saya lupa ^^ (afwan yah)
9.‘Ilmu Insyak : ilmu pengetahuan  tentang karang mengarang surat, buku, pidato, cerita artikel, features dan sebagainya. Gunanya untuk menjaga jangan sampai salah dalam dunia karang-mengarang.

10.‘Ilmu Mukhadarat : pengetahuan tentang cara-cara memperdalam suatu persoalan, untuk diperdebatkan didepan majlis, untu  menambah keterampilan berargumentasi, mahir bertutur dan terampil mengungkapkan cerita.

11.‘Ilmu Badi’ : pengetahuan, tentang seni sastra, Penemu imu ini adalah Abdullah bin Mu’taz. llmu ini ditujukan untuk menguasai seluk beluk sastra sehingga memudahkan seseorang dalam meletakkan  kata- sesuai  tempatnya sehingga  kata-kata tadi  berlin bertelindan dengan indah, sedap didengar dan mudah diucapkan.

12.‘Ilmu Bayan : ilmu yang  menetapkan  beberapa peraturan  dan kaedah untuk mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat penemunya adalah Abu  Ubaidah yang menyusun pengetahuan ini dalam “Mujazu Al-Quran” kemudian berkembang pada imam Ahu T ,qahir disempurnakan oleh pujangga-pujangga Arab  lainnya seperti AI-Jahiz, .lbnu Mu’taz, Qaddamah dan Abu Hilal Al- Asikari. Dengan ilmu ini akan diketahui rahasia bahasa arab dalam prosa dan puisi, keindahan sastra Al-Quran dan Hadist Tanpa mengetahui ilmu ini seseorang tidak akan dapat menilai apalagi memahami isi al Quran dan Sabda nabi dengan sesungguhnya.

13.‘Ilmu Ma’ani : pengetahuan untuk menentukan beberapa kaedah untuk pemakaian kata sesuai dengan keadaan (situasi dan kondisi) dalam istilah disebutkan “Muthabiq Lil /muqtadhal Hali” tujuannya untuk mengetahui I’jaz Al-Quran, keindahan sastra Al-Quran yang tiada taranya.
Masya Allah sangat luas bahasa ‘arab, ini baru pembagian cabang ‘ilmu dalam grammar bahasa ‘arab belum ‘ilmu balaghah. dimana ‘ilmu balaghah adalah ‘ilmu tertinggi dalam bahasa ‘arab 

^^  (semangat… semangat… semangat..)

Yang penting bagi kita adalah mempelajari dasar-dasar bahasa ‘arab terlebih dahulu nahwu dan sharaf. Faham bagaimana meng’irab suatu kalimat dan belajar menguasai wazan-wazan (timbangan-timbangan)  ketika belajar tashrif.

Salam, Selamat Belajar

Rumus Bahasa Arab

Minggu, 07 April 2013 | komentar


Ciri-ciri Isim:

Sabtu, 30 Maret 2013 | komentar

Ciri-ciri Isim:
عَلاَمَاتُ الاِسْم
التََّنْوِيْن
مِثْلُ :{ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ} البقرة

الخَفْض
مِثْلُ : {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} الفاتحة

الْأََلِفُ وَاللاَّم
مِثْلُ :{ ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ} البقرة

حَرْفُ الجَرِِّ
مِثْلُ :{ وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ} البقرة