Kitab Ilmu Tashrif
Kitab Ilmu Sharaf untuk
mempelajari perubahan2 bentuk kalimat sehingga berubah arti, akibat
pengaruh perubahan waktu ; akan/sedang atau telah, pelaku, objek
penderita, tempat/alat atau zaman.
Asal 3 huruf, 4, 5 atau 6. Ada penambah atau tidak. Beraturan atau tidak beraturan.
Ilmu Sharaf, dikenal pula
sebagai Ibunya Ilmu, sebagaimana dawuhan sebagian ulama ; “Ash-shorfu
ummul ‘uluum, wan nahwu abuuha” (Imu sharaf adalah ibu berbagai ilmu,
adapun Nahwu adalah bapaknya).
Semua ilmu yang lahir akan
diatur berdasarkan kaidah ilmu sharaf. Saking pentingnya memahami ilmu
ini, sehingga boleh dikatakan tidak wajib diturut pendapat agama dari
orang yang tidak mengerti ilmu ini.
Filsafat Ilmu Nahwu
Dalam kitab “Al Kawakib Al
Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab
nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu
yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam
untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat
kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam
dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka
jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam
air”.
Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak
luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya
tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya
tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti
karya itu kurang bermanfaat.
Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap
bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada
air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah
wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir,
kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan
“Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini.
Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah
ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami
ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas,
kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak
mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan
penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata
bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki
filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap
generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang
termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam
atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah”
adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata
dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya,
bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan
persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan
menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat
lain.
Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan
derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman
Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi
jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga
orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan
dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat
hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il,
naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti
segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita
ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka
hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan
atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan
pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi
terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai
Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan
dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda
Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di
bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili
tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat
tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan
pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam
kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
sahabat Ali ra.
Beliau
pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang
tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin
Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh
lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama
atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas
dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah
pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari
Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia
di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang
yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di
tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah
orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu
Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide
positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang
melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka
yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian
salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak
ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah
karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari
lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap
sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar
itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai
cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang
mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas,
siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat
derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh
dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat
ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah
mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita
mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang
akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah
SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11).
Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah
nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu
adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh
bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna
kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami
kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak
bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap
dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau
bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh
Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa
suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala
sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah
kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi
mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan
mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah
akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat
bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta
dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat
Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama
mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi
mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih,
seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin
yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh
persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan
oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh
(rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf
khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi
majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan
mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat
Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air
samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar.
Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat
apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi
ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di
antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna
bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam
hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah
(nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka
(fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan
berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan
keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak
akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari
laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i.
Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda
akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah
!, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan
mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia
menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam
Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak
mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang
tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila
ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang
mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan
kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang
kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain.
Firman Allah SWT:
فاذا فر غت فا نصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam
ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara
lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti
ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan
melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan
kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan.
Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian
tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian
juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh
karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping
dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu
(manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).